“Silakan Raden memberi teka teki kepadaku. Akan kujawab semampuku, bila aku tahu jawabannya”.
Begawan Bagaspati adalah seorang Pendeta yang sudah tak lagi samar
dengan polah tingkah manusia. Ia adalah manusia sakti yang mengetahui
setiap keadaan didepan dengan penglihatannya yang tajam berdasarkan
getar isyarat dan gelagat yang ia terima. Meskipun demikian ia masih
juga ingin melihat dengan seutuhnya getaran itu dengan lebih jelas. Maka
ia masih tetap ingin mendengarkan langsung kata teka teki dari mulut
Narasoma.
“Ini teka-teki ku, dengarkan baik baik. Suatu hari ada seekor kumbang jantan yang sedang terbang tak bertujuan. Terlihat olehnya ada setangkai bunga cempaka yang sedang mekar dengan indahnya. Penuh dengan sari madu yang membuat sang kumbang begitu terpesona dan terbitlah rasa lapar ingin menghisap sari madu itu. Namun ternyata didekat bunga mekar itu, terdapat seekor buaya putih yang sedang menunggui. Sedangkan kumbang hanya dapat menghisap sari madu bunga cempaka itu, bila buaya putih penunggu telah terbunuh”.
Sampai disini Begawan Bagaspati menarik nafas panjang. Ia sudah mengetahui maksud dari teka teki yang diberikan oleh Narasoma. Maka katanya kepada Pujawati, “Raden, tidak usah kau teruskan teka teki itu hingga selesai. Aku sudah dapat menebak teka teki itu. Pujawati, pergilah ke sanggar pamujan, siapkan segenap perangkat upacara kematian. Bentangkan selembar mori putih dan kekutug kemenyan beserta mertega sucinya. Segeralah anakku Pujawati”.
Seketika tercekat kerongkongan Pujawati. Kegelisahan telah merayapi jantungnya, namun ia masih saja meminta keterangan kepada ayahnya.
“Untuk apa dan siapa yang hendak diupacarai, Bapa?” Gemetar suara Pujawati.
“Sudahlah nanti kamu juga akan tahu sendiri. Bukankah engkau menghendaki Narasoma menjadi kekasih hatimu? Inilah syarat yang harus kamu sediakan dalam menjawab teka teki dari calon suamimu, Pangeran Pati Mandaraka, Raden Narasoma. Segeralah kamu lakukan apa permitaanku Pujawati”.
Dipandangnya Pujawati dengan sinar mata yang seakan menyihir Pujawati agar segera meninggalkan keduanya.
Sebagai anak yang selalu patuh, Pujawati mohon diri disertai pandangan Narasoma yang terpesona dengan tingkah dan kecantikannya. Dilain pihak Pujawati lengser dengan dihinggapi perasaan yang amat gundah.
Sepeninggal Pujawati, Begawan Bagaspati melangkah lebih dekat ke depan Narasoma. Kemudian ia mengatakan “Raden Narasoma, calon menantuku yang bagus, aku tidak samar dengan apa yang kau maui dengan teka teki yang kau ucapkan. Baiklah, aku akan meminta syarat bila menghendaki Pujawati sebagai istrimu”.
“Katakan Begawan, tentu aku akan kabulkan semua persyaratan yang kau ajukan”. Narasoma penuh percaya diri menyanggupi.
“Bila nanti kamu sudah beristrikan Pujawati, cintai dia dengan sepenuh kasih sayang. Janganlah kau perlakukan anakku dengan sia sia, walaupun ia hanya seorang anak perempuan gunung yang jauh dari suba sita dan kekurangan tata pergaulan kerajaan. Selanjutnya, bila nanti kamu sudah kembali ke Mandaraka, tidak urung nanti kamu akan menggantikan kedudukan ayahmu, Prabu Mandrakesywara. Walaupun kamu berwenang untuk mengambil selir seberapapun banyaknya, tetapi hendaknya engkau tetap setia dengan seorang Pujawati saja. Peganglah teguh janjimu bila tidak ingin menemui petaka”.
“Persyaratan yang mudah. Baiklah begawan, sekarang katakan jawaban atas pertanyaan teka-teki itu”. Jawab Narasoma, masih terbawa oleh pesona terhadap kecantikan seorang wanita. Maka segalanya mudah saja baginya menyangupi. Tetapi sesaat kemudian kembali Narasoma mengungkit tentang pertanyaan teka teki yang belum terjawab. Pertanyaan yang sebenarnya mudah jawabannya bagi seorang Bagaspati.
“Jawabannya gampang gampang susah. Gampang untuk mengucapkan dengan lidah, tetapi tidak gampang menyelesaikan dengan tindakan. Begini bagus Narasoma, kumbang jantan yang kau maksud disini adalah dirimu itu. Sedangkan rasa lapar pada si kumbang dan ingin menghisap madu itu adalah, rasa asmara yang tak tertahankan. Kembang cempaka mulya disini diartikan sebagai anakku Pujawati. Tidaklah samar lagi, siapa yang kau sebut sebagai buaya putih penunggu kembang cempaka, itu adalah aku sendiri”. Sejenak Begawan Bagaspati diam. Diamati raut wajah Narasoma yang tegang dan memendam gejolak pada matanya. Lanjut Begawan Bagaspati.
“Penjelasannya adalah, kamu kepengin menyunting anakku Pujawati, tetapi dirimu malu mempunyai mertua semacam aku ini. Maka kamu menginginkan, agar aku disingkirkan dari madyapada ini, agar kamu tidak mendapat malu didepan orang tuamu. Itukah yang kau maksud dengan teka teki itu, raden?”
Getaran hebat menjalari seluruh jantung Narasoma. Walaupun perumpamaan itu sudah yakin akan dijawab dengan mudah oleh Begawan Bagaspati, namun tak urung ia terjerumus dalam jurang rasa salah yang teramat dalam. Setelah diredam rasa itu dengan segala kekuatannya ia menjawab dengan gemetar; “Aduh Panembahan, benar tanpa sedikitpun yang tertinggal. Namun aku memintakan seribu maaf atas keinginanku yang sedemikian itu. Aku tidak ingkar, itulah sejatinya maksud dari teka teki itu”.
Sedikitpun tak ada raut marah atau kecewa Begawan Bagaspati terbayang diwajahnya Bahkan ia mengatakan kepada Narasoma, “Aku tidak kecewa dengan apa yang menjadi kehendakmu. Tetapi sungguhkah persyaratanku atas keinginanmu menyunting anakku dapat kau pegang teguh?”
“Ya, aku berjanji untuk memegang teguh persyaratan yang kau minta”. Serta merta Narasoma menjawab terdorong keterkejutan karena sikap Bagaspati yang dialaminya.
“Baiklah lega rasanya hati ini. Menantuku yang tampan, perkenankan aku menyebutmu menantuku sekarang. Tak ada waktu lagi kedepan aku menyebutkan kau sebagai menantuku, karena aku telah mengiklaskan jiwaku sekarang. Lekaslah agar tidak membuang waktu, segeralah cabut pusakamu, tancapkan ke dada ini”.
“Maafkan aku rama Begawan, semoga semua yang aku lakukan kalis dari semua dosa dosa”. Narasoma mencoba menjawab sambil tetap meredam getar di dada.
Maka keris pusaka Narasoma telah dihunus. Dipandangnya sejenak keris pusaka yang selama ini tak pernah mengecewakan dirinya. Tetapi ketika keris itu menyentuh dada Begawan Bagaspati, keris pusaka itu bagai menumbuk lembaran baja yang begitu tebal. Berdentang memercikkan api, ujung keris yang menerpa dada Begawan Bagaspati, tetapi segores lukapun tak nampak pada dada Sang Begawan. Tetapi tidak kalah kaget begawan Bagaspati dengan kegagalan yang dialami oleh Narasoma.
Dengan murka Narasoma berkata. “Heh Begawan Bagaspati, ternyata ucapanmu tidak lahir terus ke batinmu. Janjimu hanya sebatas sampai ke bibir saja, tidak terus ke hatimu. Kenapa kamu tidak juga merelakan jiwamu? Malah kamu mempertontonan kesaktianmu!”
“O o o . . . , Sabar Raden, ada suatu yang terlupa. Didalam tubuhku masih terpendam ajian yang dinamai Aji Candabhirawa. Ujudnya hanyalah manusia kerdil berwajah raksasa, tetapi bila ia dilukai oleh senjata, maka ia akan bertambah jumlahnya menjadi seratus. Bila mereka dilukai kembali, mereka akan berlipat jumlahnya menjadi seribu dan seterusnya. Ajian ini akan sekalian aku serahkan kepadamu dengan syarat kamu harus memelihara Candabirawa dengan sebaik-baiknya”.
“Ya,Baklah, rama Begawan, aku akan menerima segala yang kau kehendaki. Katakan syarat itu.”
“Sebentar aku hendak semadi, untuk menyuruh Candabhirawa keluar dari dalam hatiku”.
Beberapa saat Begawan Bagaspati mengatupkan tangannya, terpejam mata dalam khusuknya tepekur, menguncupkan empat panca indera, hanya indera perasa yang ia kerahkan dengan tajam. Sesaat terloncat ujud manusia kerdil dengan wajah yang menakutkan! Itulah Candabhirawa!
Mencium kaki seketika Candabhirawa dengan takzim. Kemudian ia menanyakan “ Oooh Begawan . . , ada apakah gerangan, hamba disuruh keluar dari gua garba paduka Sang Resi?”
“Sudah sampai waktuku untuk aku pergi ke keabadian sejati. Untuk itu sudah aku sediakan sosok pengganti untuk kamu mengabdi. Lihat, siapakah yang berdiri didepanmu. Itulah sosok yang akan kau huni sebagai penerus dari kejayaan Candabhirawa”.
Namun terbayang kekecewaan Candabhirawa, ketika ia melihat sosok yang dilihatnya. Sosok yang dilihatnya menyiratkan manusia yang kurang melakoni tindak prihatin. Sosok yang lebih mementingkan kesenangan pribadi belaka dan terkesan sombong. Maka dengan memelas ia mengatakan kepada Bagaspati.
“Aduh Bapa Resi, bisakah hamba ikut Bapa untuk selama lamanya? Hamba melihat hal yang berbeda dari pada yang biasanya hamba alami ketika bersama dengan kebiasaan Bapa Begawan. Yang aku lihat pada sosok itu tidaklah akan membuat aku betah tinggal pada raganya” meratap Candabirawa dikaki Sang Begawan. Begitu kecewa ia membayangkan perpisahan dengan Bagaspati.
“Raden! Raden sudah mendengar sendiri keluhan dari Candabirawa. Maka bila raden berkenan untuk diikuti oleh Candabhirawa bersama dengan kesaktiannya yang tiada tara, maka Raden harus berjanji sekali lagi untuk menyanggupi permintaan Aji Candabhirawa”.
“Akan aku penuhi perminatanmu Begawan, dengan segala kemampuan yang ada padaku. Apakah permintaannya?”
“Candabhirawa akan lapar, bila raden kenyang. Candabhirawa akan sedih bila Raden senang senang berlebihan dan segala sesuatu akan terbalik bila Raden merasakan kenikmatan yang berlebihan. Sanggupkah Raden hidup dalam suasana yang serba sederhana?”
“Baik, aku bersedia! Hendaknya bumi dan langit menjadi saksi.” kembali Narasoma mengucap janji.
“Sekarang ulangi lagi apa yang sudah Raden lakukan tadi. Segeralah, mumpung Pujawati belum kembali”. Sinar mata Begawan Bagaspati menerobos dinding hati Narasoma yang sedang terguncang menerima peristiwa yang datang secara bertubi tubi. Maka tanpa berpikir panjang, kembali keris pusakanya dicocokkan ke dada Begawan Bagaspati. Tak ayal lagi percobaan kedua ini telah berhasil. Tembus dada raksasa Bagaspati. Darah menyembur dari luka Begawan Bagaspati, bergetar seluruh tubuh sang Begawan. Tetapi ia tewas sesaat kemudian dengan bibir tersenyum puas.
Rasa bersalah yang berusaha ia tepiskan tak segera pergi. Gemetar tangannya yang masih menggenggam kerisnya, hingga ia tidak dapat melakukan apapun. Ia masih berdiri termangu mangu, hingga ia dikejutkan dengan suara yang menyapanya.
“Narasoma menantuku, aku titipkan anakku Pujawati sesuai dengan janjimu. Hingga nanti bila perang besar tiba dan kau jumpai senapati yang berdarah putih, pada saat itulah aku hendak menjemputmu bersama sama dengan anakku Pujawati. Aku akan menunggu di alam madya, hingga waktu itu tiba”. Terkesiap Narasoma ketika terdengar suara itu.
Tetapi seketika angan Salya buyar oleh suara gemuruh prajurit yang menunggu kedatangannya hingga siang hari di medan Kuru. Ya, kedatangan Salya di Tegal Kuru itu telah terlambat. Matahari di hari itu telah menuntaskan basah embun sedari lama.
Pada saat yang sama, kesiangan Sang Dewi Satyawati terbangun dari mimpi indah, ketika sinar matahari menerobos celah jendela kamarnya. Geragapan Sang Dewi membenahi pakaiannya yang kusut, menyisir rambunya dengan jari. Tatapan matanya seketika tertuju pada sepucuk surat yang tergeletak di pembaringan. Dibacanya dengan seksama surat itu yang menyatakan ia telah pergi kembali ke Kurusetra dan telah diserahkan negara Mandaraka kepada kemenakannya Nakula dan Sadewa.
Setengah teriak ia memanggil Endang Sugandini, saudara dekat putri dari Begawan Bagaskara. Endang Sugandini telah menjadi kawan setia Setyawati sejak ia dikalahkan oleh Prabu Salya dan diruwat dari ujudnya semula, raseksi bernama Tapayati, emban Prabu Kurandageni dari negara Girikedasar.
Yang dipanggil buru-buru datang. Yang dijumpainya, sedang menangis tersedu, “Sugandini, tenyata malam tadi adalah malam yang penuh kenangan. Aku sudah merasa bahwa malam tadi adalah malam terakhir bagi aku bersama kanda Prabu Salya. Sugandini aku akan pergi menyusul Kanda Prabu ke peperangan”.
“Kusumaratu, hamba tidak mau paduka pergi seorang diri. Hamba akan ikut bersama paduka kemedan Kuru”.
Sementara itu di Pandawa Mandala Yudha, Nakula dan Sadewa telah kembali dari Mandaraka. Telah diceritakan dengan lengkap apa yang terjadi sepanjang lepas tengah malam hingga ia tiba kembali di Pesanggrahan Hupalawiya. Setelah semuanya menjadi jelas bagi Prabu Kresna, ia membuka pembicaraan penting dengan Prabu Puntadewa.
“Sudah tiba waktu yang dijanjikan paman Prabu Salya, dinda Puntadewa!”.
“Apakah yang kanda Kresna maksudkan?” Tanya Prabu Puntadewa.
“Dinda, sudah saatnya dinda maju menjadi Senapati, menandingi senapati Kurawa, Paman Prabu Salya”.
“Kanda hamba tidak ingin lagi melihat mengalirnya darah yang tertumpah dari dada orang-orang tua kami yang hamba hormati”. Kembali Kresna melihat sifat asli dari Prabu Puntadewa.
“Tetapi ingatlah, berkali kali sudah kanda katakan, perang ini bukan lagi tempat untuk berbakti antara orang muda terhadap orang yang lebih tua, tetapi perang yang terjadi adalah perang yang berdasar atas keutamaan dan berpayungkan atas keadilan”. Jurus pertama Kresna ajukan dalam membujuk Prabu Puntadewa untuk mau maju sebagai senapati.
“Bila begitu kanda, kanda Prabu telah menentukan bahwa Uwa Prabu Salya adalah orang yang tidak berlaku adil. Dimanakah letak ketidak adilan yang terdapat pada diri Uwa Salya”. Jawab Prabu Puntadewa tenang.
“Tidakkah dinda melihat, bahwa Prabu Duryudana adalah sosok yang melakukan tindak angkara. Tetapi dinda lihat sendiri, paman Prabu Salya tetap membela tingkah pakarti yang dilakukan oleh kanda Duryudana”. Terus mendesak Kresna untuk meyakinkan Prabu Puntadewa.
“Tetapi hamba tidak bisa mengatakan bahwa Prabu Salya tidak bertindak adil. Mestinya kanda Prabu Kresna tahu, bahwa kanda Prabu Duryudana adalah salah seorang dari menantu Prabu Salya. Bila ada seorang mertua yang membela menantu, apakah ini bisa desebut salah” Prabu Puntadewa menjawab.
“Benar disatu sisi tapi tidak benar disisi yang lain. Memang benar bahwa Prabu Duryudana adalah menantu pada garis kekeluargaan. Tetapi dalam sisi kebenaran semesta, tindakan Prabu Salya adalah salah. Prabu Duryudana yang tidak bertindak dalam garis kebenaran, tidak selayaknya dibela oleh Paman Prabu Salya. Tidakkah dinda ketahui siapa yang seharusnya memiliki bumi Astina. Mestinya bukankah dinda Puntadewa?!”. Kresna masih ngotot merayu Prabu Punta.
“Tetapi kanda, saya sudah merelakan hal itu. Biarkan kanda Prabu Duryudana tetap menikmati manisnya madu yang terkulum. Perang Baratayuda dimualai bukan atas kemauan hamba, diakhiri sekarangpun juga bukan kemauan hamba”.
Krena menghela nafas panjang. Sulit sekali merasakan bagaimana ia harus menundukkan hati manusia yang begitu kukuh dalam memegang kesucian. Namun sejenak kemudian, rayuannya kembali mengalun, “Dinda, ini adalah perang Baratayuda. Yang sudah banyak memakan korban bukan saja dari prajurit kecil, tapi sudah meluas mengorbankan para orang orang tua kita dan anak anak kita yang harus kita lindungi dan orang yang seharusnya kita beri kemukten. Bila dahulu sewaktu peprangan dimulai dinda diam saja, sekarang begitu sudah banyak makan korban dengan mudahnya dinda hendak menghentikan. Mengapa pada awal pecah perang dinda diam saja”.
Masih dengan tenang Puntadewa menjawab, “Bila dulu hamba diam saja, itu tidak berarti hamba setuju. Tapi apalah saya ini, bila saudara kami yang empat sudah mempunyai kemauan yang tak dapat dihalangi, maka peristiwa yang seharusnya terjadi itu terjadilah. Biarlah semua orang didunia mengatakan, bahwa Puntadewa adalah seorang raja yang tidak teguh dalam menjalankan negara, dan tidak becus dalam memimpin adik adiknya. Hamba adalah orang yang siap untuk diberi cap sebagai raja yang pantas untuk dicela, tidak bisa dijadikan tauladan. Hamba menjadi raja bukan atas kemauan hamba, dan semua pengaturan tata negara sudah hamba berikan kepada saudara kami yang empat”.
Diam, suasana balairung kembali sunyi. Kresna setengah putus asa. Akhirnya ia berkata kepada Werkudara, “Werkudara, bisakah kamu memberi usulan bagaimana kakakmu itu bisa maju menandingi senapati Astina paman Prabu Salya?”.
“Hlaaa, jangankan aku. Yang sebagai adiknya. Kamu sendiri yang selalu menjadi tempat untuk mengurai kekusutanpun, tak lagi diturut omongannya!” . Jawaban Werkudara tidak membuat Kresna puas.
“Arjuna, kamu tentunya bisa memberikan sumbang saran?”. Pertanyaan Kresna beralih ke Arjuna.
“Aduh kanda, hamba yang sebaga saudara muda, apalah daya yang hamba miliki kanda Kresna”.
“Dimas Nakula Sadewa, bagaimana?” Kresna menanya kepada kembar dengan jawaban yang sudah ia perkirakan.
Yang disebut namanya hanya saling pandang.
“Jadi bagaimana Werkudara?” Kembali pertanyaan ditujukan kepada Werkudara.
“Baiklah, kanda Puntadewa. Bila sudah tidak ada rasa memiliki adik adikmu ini. Sekarang aku dan saudaramu yang empat akan melakukan bakar diri”.
“Silakan dinda. Tetapi setahuku, orang yang hendak bunuh diri dengan mengatakan kepada orang lain, itu biasanya perbuatan yang tidak sungguh sungguh”.
Jawab Puntadewa. Kresna yang mendengar jawaban Puntadewa tersenyum kepada Werkudara penuh arti.
“Kresna, aku sudah tidak sanggup!” keluh Bima seenaknya.
Kesunyian kembali menggenang, keputus asaan Kresna membuat ia tak kuasa untuk memutar otak yang seakan kusut. Tapi tiba tiba Puntadewa berkata, “Kanda, bila hamba diminta menjadi senapati menandingi senapati dari Astina hamba sanggup, tetapi hamba harus tetap kalis dari dosa. Hamba sanggup melakukan itu bila jaminan itu ada, kanda”.
Terang pikiran Prabu Kresna seketika mendengar kalimat kalimat yang tak terduga meluncur dari bibir Prabu Punta. Maka dengan sepenuh hati ia meyakinkan keinginan yang tertuang dari hati Prabu Puntadewa. “Baiklah dinda, saya pastikan dinda akan tetap suci dan tidak terlumuri dosa, bila yang memerintah paduka adalah Sang Hyang Wisnu. Lihatlah dinda, kanda akan memperlihatkan diri dalam bentuk Wisnu, dan dengarkan apa yang pukulun Sang Hyang Wisnu hendak katakan”.
Perlahan Prabu Kresna memuja semedi, dikerahkan kekuatan untuk membuka pintu batinnya dan mampu memperlihatkan kesejatian dirinya dalam rupa Batara Wisnu. Telah tercapai maksudnya, berkata ia kepada Prabu Puntadewa, “Heh titah ulun Puntadewa, hendaknya kamu segera maju ke medan perang. Tandingi kekuatan Prabu Salya dengan sarana Pusaka Jamus Kalimasadda. Lepaskan pusakamu untuk menyirnakan jasad Prabu Salya”.
Tersenyum Kresna ketika ia telah berhasil membujuk Prabu Puntadewa. Canggung gerak Prabu Puntadewa ketika menaiki kereta dengan sepasang kuda perang putih dengan didampingi oleh Nakula dan Sadewa. Sedangkan Arjuna dan Werkudara pun tidak mengambil jarak yang cukup jauh dalam menjaga keselamatan kakak sulungnya.
Sementara di padang Kurusetra, amuk Prabu Salya seakan tak terbendung. Berbagai macam senjata telah mengenai sosok Prabu Salya, namun tak satu senjata yang mampu melukai kulit Sang Senapati.Tak diketahui orang yang sedang berada di peperangan, Sukma Sang Bagaspati melayang menunggu saat yang ditunggu tunggu. “ Salya menantuku, sekarang sudah saatnya bagiku untuk menjemput kamu. Narasaoma, aku tidak membenci kamu walaupun kamu telah membunuhku. Tapi kehendakku, belum akan kembali ke tepet suci bila tidak bersama dengan anak dan menantuku. Nah sekarang lah waktunya. Aku akan menyatu dalam tubuh Puntadewa. Salya tunggu kedatanganku”. Melayang sukma Bagaspati menyatu dalam diri Prabu Punta.
Ketika melihat kedatangan Puntadewa yang menaiki kereta itu, hatinya tercekat. Ia sudah merasa terdapat aura aneh yang terpancar pada diri lawannya.
“Ini teka-teki ku, dengarkan baik baik. Suatu hari ada seekor kumbang jantan yang sedang terbang tak bertujuan. Terlihat olehnya ada setangkai bunga cempaka yang sedang mekar dengan indahnya. Penuh dengan sari madu yang membuat sang kumbang begitu terpesona dan terbitlah rasa lapar ingin menghisap sari madu itu. Namun ternyata didekat bunga mekar itu, terdapat seekor buaya putih yang sedang menunggui. Sedangkan kumbang hanya dapat menghisap sari madu bunga cempaka itu, bila buaya putih penunggu telah terbunuh”.
Sampai disini Begawan Bagaspati menarik nafas panjang. Ia sudah mengetahui maksud dari teka teki yang diberikan oleh Narasoma. Maka katanya kepada Pujawati, “Raden, tidak usah kau teruskan teka teki itu hingga selesai. Aku sudah dapat menebak teka teki itu. Pujawati, pergilah ke sanggar pamujan, siapkan segenap perangkat upacara kematian. Bentangkan selembar mori putih dan kekutug kemenyan beserta mertega sucinya. Segeralah anakku Pujawati”.
Seketika tercekat kerongkongan Pujawati. Kegelisahan telah merayapi jantungnya, namun ia masih saja meminta keterangan kepada ayahnya.
“Untuk apa dan siapa yang hendak diupacarai, Bapa?” Gemetar suara Pujawati.
“Sudahlah nanti kamu juga akan tahu sendiri. Bukankah engkau menghendaki Narasoma menjadi kekasih hatimu? Inilah syarat yang harus kamu sediakan dalam menjawab teka teki dari calon suamimu, Pangeran Pati Mandaraka, Raden Narasoma. Segeralah kamu lakukan apa permitaanku Pujawati”.
Dipandangnya Pujawati dengan sinar mata yang seakan menyihir Pujawati agar segera meninggalkan keduanya.
Sebagai anak yang selalu patuh, Pujawati mohon diri disertai pandangan Narasoma yang terpesona dengan tingkah dan kecantikannya. Dilain pihak Pujawati lengser dengan dihinggapi perasaan yang amat gundah.
Sepeninggal Pujawati, Begawan Bagaspati melangkah lebih dekat ke depan Narasoma. Kemudian ia mengatakan “Raden Narasoma, calon menantuku yang bagus, aku tidak samar dengan apa yang kau maui dengan teka teki yang kau ucapkan. Baiklah, aku akan meminta syarat bila menghendaki Pujawati sebagai istrimu”.
“Katakan Begawan, tentu aku akan kabulkan semua persyaratan yang kau ajukan”. Narasoma penuh percaya diri menyanggupi.
“Bila nanti kamu sudah beristrikan Pujawati, cintai dia dengan sepenuh kasih sayang. Janganlah kau perlakukan anakku dengan sia sia, walaupun ia hanya seorang anak perempuan gunung yang jauh dari suba sita dan kekurangan tata pergaulan kerajaan. Selanjutnya, bila nanti kamu sudah kembali ke Mandaraka, tidak urung nanti kamu akan menggantikan kedudukan ayahmu, Prabu Mandrakesywara. Walaupun kamu berwenang untuk mengambil selir seberapapun banyaknya, tetapi hendaknya engkau tetap setia dengan seorang Pujawati saja. Peganglah teguh janjimu bila tidak ingin menemui petaka”.
“Persyaratan yang mudah. Baiklah begawan, sekarang katakan jawaban atas pertanyaan teka-teki itu”. Jawab Narasoma, masih terbawa oleh pesona terhadap kecantikan seorang wanita. Maka segalanya mudah saja baginya menyangupi. Tetapi sesaat kemudian kembali Narasoma mengungkit tentang pertanyaan teka teki yang belum terjawab. Pertanyaan yang sebenarnya mudah jawabannya bagi seorang Bagaspati.
“Jawabannya gampang gampang susah. Gampang untuk mengucapkan dengan lidah, tetapi tidak gampang menyelesaikan dengan tindakan. Begini bagus Narasoma, kumbang jantan yang kau maksud disini adalah dirimu itu. Sedangkan rasa lapar pada si kumbang dan ingin menghisap madu itu adalah, rasa asmara yang tak tertahankan. Kembang cempaka mulya disini diartikan sebagai anakku Pujawati. Tidaklah samar lagi, siapa yang kau sebut sebagai buaya putih penunggu kembang cempaka, itu adalah aku sendiri”. Sejenak Begawan Bagaspati diam. Diamati raut wajah Narasoma yang tegang dan memendam gejolak pada matanya. Lanjut Begawan Bagaspati.
“Penjelasannya adalah, kamu kepengin menyunting anakku Pujawati, tetapi dirimu malu mempunyai mertua semacam aku ini. Maka kamu menginginkan, agar aku disingkirkan dari madyapada ini, agar kamu tidak mendapat malu didepan orang tuamu. Itukah yang kau maksud dengan teka teki itu, raden?”
Getaran hebat menjalari seluruh jantung Narasoma. Walaupun perumpamaan itu sudah yakin akan dijawab dengan mudah oleh Begawan Bagaspati, namun tak urung ia terjerumus dalam jurang rasa salah yang teramat dalam. Setelah diredam rasa itu dengan segala kekuatannya ia menjawab dengan gemetar; “Aduh Panembahan, benar tanpa sedikitpun yang tertinggal. Namun aku memintakan seribu maaf atas keinginanku yang sedemikian itu. Aku tidak ingkar, itulah sejatinya maksud dari teka teki itu”.
Sedikitpun tak ada raut marah atau kecewa Begawan Bagaspati terbayang diwajahnya Bahkan ia mengatakan kepada Narasoma, “Aku tidak kecewa dengan apa yang menjadi kehendakmu. Tetapi sungguhkah persyaratanku atas keinginanmu menyunting anakku dapat kau pegang teguh?”
“Ya, aku berjanji untuk memegang teguh persyaratan yang kau minta”. Serta merta Narasoma menjawab terdorong keterkejutan karena sikap Bagaspati yang dialaminya.
“Baiklah lega rasanya hati ini. Menantuku yang tampan, perkenankan aku menyebutmu menantuku sekarang. Tak ada waktu lagi kedepan aku menyebutkan kau sebagai menantuku, karena aku telah mengiklaskan jiwaku sekarang. Lekaslah agar tidak membuang waktu, segeralah cabut pusakamu, tancapkan ke dada ini”.
“Maafkan aku rama Begawan, semoga semua yang aku lakukan kalis dari semua dosa dosa”. Narasoma mencoba menjawab sambil tetap meredam getar di dada.
Maka keris pusaka Narasoma telah dihunus. Dipandangnya sejenak keris pusaka yang selama ini tak pernah mengecewakan dirinya. Tetapi ketika keris itu menyentuh dada Begawan Bagaspati, keris pusaka itu bagai menumbuk lembaran baja yang begitu tebal. Berdentang memercikkan api, ujung keris yang menerpa dada Begawan Bagaspati, tetapi segores lukapun tak nampak pada dada Sang Begawan. Tetapi tidak kalah kaget begawan Bagaspati dengan kegagalan yang dialami oleh Narasoma.
Dengan murka Narasoma berkata. “Heh Begawan Bagaspati, ternyata ucapanmu tidak lahir terus ke batinmu. Janjimu hanya sebatas sampai ke bibir saja, tidak terus ke hatimu. Kenapa kamu tidak juga merelakan jiwamu? Malah kamu mempertontonan kesaktianmu!”
“O o o . . . , Sabar Raden, ada suatu yang terlupa. Didalam tubuhku masih terpendam ajian yang dinamai Aji Candabhirawa. Ujudnya hanyalah manusia kerdil berwajah raksasa, tetapi bila ia dilukai oleh senjata, maka ia akan bertambah jumlahnya menjadi seratus. Bila mereka dilukai kembali, mereka akan berlipat jumlahnya menjadi seribu dan seterusnya. Ajian ini akan sekalian aku serahkan kepadamu dengan syarat kamu harus memelihara Candabirawa dengan sebaik-baiknya”.
“Ya,Baklah, rama Begawan, aku akan menerima segala yang kau kehendaki. Katakan syarat itu.”
“Sebentar aku hendak semadi, untuk menyuruh Candabhirawa keluar dari dalam hatiku”.
Beberapa saat Begawan Bagaspati mengatupkan tangannya, terpejam mata dalam khusuknya tepekur, menguncupkan empat panca indera, hanya indera perasa yang ia kerahkan dengan tajam. Sesaat terloncat ujud manusia kerdil dengan wajah yang menakutkan! Itulah Candabhirawa!
Mencium kaki seketika Candabhirawa dengan takzim. Kemudian ia menanyakan “ Oooh Begawan . . , ada apakah gerangan, hamba disuruh keluar dari gua garba paduka Sang Resi?”
“Sudah sampai waktuku untuk aku pergi ke keabadian sejati. Untuk itu sudah aku sediakan sosok pengganti untuk kamu mengabdi. Lihat, siapakah yang berdiri didepanmu. Itulah sosok yang akan kau huni sebagai penerus dari kejayaan Candabhirawa”.
Namun terbayang kekecewaan Candabhirawa, ketika ia melihat sosok yang dilihatnya. Sosok yang dilihatnya menyiratkan manusia yang kurang melakoni tindak prihatin. Sosok yang lebih mementingkan kesenangan pribadi belaka dan terkesan sombong. Maka dengan memelas ia mengatakan kepada Bagaspati.
“Aduh Bapa Resi, bisakah hamba ikut Bapa untuk selama lamanya? Hamba melihat hal yang berbeda dari pada yang biasanya hamba alami ketika bersama dengan kebiasaan Bapa Begawan. Yang aku lihat pada sosok itu tidaklah akan membuat aku betah tinggal pada raganya” meratap Candabirawa dikaki Sang Begawan. Begitu kecewa ia membayangkan perpisahan dengan Bagaspati.
“Raden! Raden sudah mendengar sendiri keluhan dari Candabirawa. Maka bila raden berkenan untuk diikuti oleh Candabhirawa bersama dengan kesaktiannya yang tiada tara, maka Raden harus berjanji sekali lagi untuk menyanggupi permintaan Aji Candabhirawa”.
“Akan aku penuhi perminatanmu Begawan, dengan segala kemampuan yang ada padaku. Apakah permintaannya?”
“Candabhirawa akan lapar, bila raden kenyang. Candabhirawa akan sedih bila Raden senang senang berlebihan dan segala sesuatu akan terbalik bila Raden merasakan kenikmatan yang berlebihan. Sanggupkah Raden hidup dalam suasana yang serba sederhana?”
“Baik, aku bersedia! Hendaknya bumi dan langit menjadi saksi.” kembali Narasoma mengucap janji.
“Sekarang ulangi lagi apa yang sudah Raden lakukan tadi. Segeralah, mumpung Pujawati belum kembali”. Sinar mata Begawan Bagaspati menerobos dinding hati Narasoma yang sedang terguncang menerima peristiwa yang datang secara bertubi tubi. Maka tanpa berpikir panjang, kembali keris pusakanya dicocokkan ke dada Begawan Bagaspati. Tak ayal lagi percobaan kedua ini telah berhasil. Tembus dada raksasa Bagaspati. Darah menyembur dari luka Begawan Bagaspati, bergetar seluruh tubuh sang Begawan. Tetapi ia tewas sesaat kemudian dengan bibir tersenyum puas.
Rasa bersalah yang berusaha ia tepiskan tak segera pergi. Gemetar tangannya yang masih menggenggam kerisnya, hingga ia tidak dapat melakukan apapun. Ia masih berdiri termangu mangu, hingga ia dikejutkan dengan suara yang menyapanya.
“Narasoma menantuku, aku titipkan anakku Pujawati sesuai dengan janjimu. Hingga nanti bila perang besar tiba dan kau jumpai senapati yang berdarah putih, pada saat itulah aku hendak menjemputmu bersama sama dengan anakku Pujawati. Aku akan menunggu di alam madya, hingga waktu itu tiba”. Terkesiap Narasoma ketika terdengar suara itu.
Tetapi seketika angan Salya buyar oleh suara gemuruh prajurit yang menunggu kedatangannya hingga siang hari di medan Kuru. Ya, kedatangan Salya di Tegal Kuru itu telah terlambat. Matahari di hari itu telah menuntaskan basah embun sedari lama.
Pada saat yang sama, kesiangan Sang Dewi Satyawati terbangun dari mimpi indah, ketika sinar matahari menerobos celah jendela kamarnya. Geragapan Sang Dewi membenahi pakaiannya yang kusut, menyisir rambunya dengan jari. Tatapan matanya seketika tertuju pada sepucuk surat yang tergeletak di pembaringan. Dibacanya dengan seksama surat itu yang menyatakan ia telah pergi kembali ke Kurusetra dan telah diserahkan negara Mandaraka kepada kemenakannya Nakula dan Sadewa.
Setengah teriak ia memanggil Endang Sugandini, saudara dekat putri dari Begawan Bagaskara. Endang Sugandini telah menjadi kawan setia Setyawati sejak ia dikalahkan oleh Prabu Salya dan diruwat dari ujudnya semula, raseksi bernama Tapayati, emban Prabu Kurandageni dari negara Girikedasar.
Yang dipanggil buru-buru datang. Yang dijumpainya, sedang menangis tersedu, “Sugandini, tenyata malam tadi adalah malam yang penuh kenangan. Aku sudah merasa bahwa malam tadi adalah malam terakhir bagi aku bersama kanda Prabu Salya. Sugandini aku akan pergi menyusul Kanda Prabu ke peperangan”.
“Kusumaratu, hamba tidak mau paduka pergi seorang diri. Hamba akan ikut bersama paduka kemedan Kuru”.
Sementara itu di Pandawa Mandala Yudha, Nakula dan Sadewa telah kembali dari Mandaraka. Telah diceritakan dengan lengkap apa yang terjadi sepanjang lepas tengah malam hingga ia tiba kembali di Pesanggrahan Hupalawiya. Setelah semuanya menjadi jelas bagi Prabu Kresna, ia membuka pembicaraan penting dengan Prabu Puntadewa.
“Sudah tiba waktu yang dijanjikan paman Prabu Salya, dinda Puntadewa!”.
“Apakah yang kanda Kresna maksudkan?” Tanya Prabu Puntadewa.
“Dinda, sudah saatnya dinda maju menjadi Senapati, menandingi senapati Kurawa, Paman Prabu Salya”.
“Kanda hamba tidak ingin lagi melihat mengalirnya darah yang tertumpah dari dada orang-orang tua kami yang hamba hormati”. Kembali Kresna melihat sifat asli dari Prabu Puntadewa.
“Tetapi ingatlah, berkali kali sudah kanda katakan, perang ini bukan lagi tempat untuk berbakti antara orang muda terhadap orang yang lebih tua, tetapi perang yang terjadi adalah perang yang berdasar atas keutamaan dan berpayungkan atas keadilan”. Jurus pertama Kresna ajukan dalam membujuk Prabu Puntadewa untuk mau maju sebagai senapati.
“Bila begitu kanda, kanda Prabu telah menentukan bahwa Uwa Prabu Salya adalah orang yang tidak berlaku adil. Dimanakah letak ketidak adilan yang terdapat pada diri Uwa Salya”. Jawab Prabu Puntadewa tenang.
“Tidakkah dinda melihat, bahwa Prabu Duryudana adalah sosok yang melakukan tindak angkara. Tetapi dinda lihat sendiri, paman Prabu Salya tetap membela tingkah pakarti yang dilakukan oleh kanda Duryudana”. Terus mendesak Kresna untuk meyakinkan Prabu Puntadewa.
“Tetapi hamba tidak bisa mengatakan bahwa Prabu Salya tidak bertindak adil. Mestinya kanda Prabu Kresna tahu, bahwa kanda Prabu Duryudana adalah salah seorang dari menantu Prabu Salya. Bila ada seorang mertua yang membela menantu, apakah ini bisa desebut salah” Prabu Puntadewa menjawab.
“Benar disatu sisi tapi tidak benar disisi yang lain. Memang benar bahwa Prabu Duryudana adalah menantu pada garis kekeluargaan. Tetapi dalam sisi kebenaran semesta, tindakan Prabu Salya adalah salah. Prabu Duryudana yang tidak bertindak dalam garis kebenaran, tidak selayaknya dibela oleh Paman Prabu Salya. Tidakkah dinda ketahui siapa yang seharusnya memiliki bumi Astina. Mestinya bukankah dinda Puntadewa?!”. Kresna masih ngotot merayu Prabu Punta.
“Tetapi kanda, saya sudah merelakan hal itu. Biarkan kanda Prabu Duryudana tetap menikmati manisnya madu yang terkulum. Perang Baratayuda dimualai bukan atas kemauan hamba, diakhiri sekarangpun juga bukan kemauan hamba”.
Krena menghela nafas panjang. Sulit sekali merasakan bagaimana ia harus menundukkan hati manusia yang begitu kukuh dalam memegang kesucian. Namun sejenak kemudian, rayuannya kembali mengalun, “Dinda, ini adalah perang Baratayuda. Yang sudah banyak memakan korban bukan saja dari prajurit kecil, tapi sudah meluas mengorbankan para orang orang tua kita dan anak anak kita yang harus kita lindungi dan orang yang seharusnya kita beri kemukten. Bila dahulu sewaktu peprangan dimulai dinda diam saja, sekarang begitu sudah banyak makan korban dengan mudahnya dinda hendak menghentikan. Mengapa pada awal pecah perang dinda diam saja”.
Masih dengan tenang Puntadewa menjawab, “Bila dulu hamba diam saja, itu tidak berarti hamba setuju. Tapi apalah saya ini, bila saudara kami yang empat sudah mempunyai kemauan yang tak dapat dihalangi, maka peristiwa yang seharusnya terjadi itu terjadilah. Biarlah semua orang didunia mengatakan, bahwa Puntadewa adalah seorang raja yang tidak teguh dalam menjalankan negara, dan tidak becus dalam memimpin adik adiknya. Hamba adalah orang yang siap untuk diberi cap sebagai raja yang pantas untuk dicela, tidak bisa dijadikan tauladan. Hamba menjadi raja bukan atas kemauan hamba, dan semua pengaturan tata negara sudah hamba berikan kepada saudara kami yang empat”.
Diam, suasana balairung kembali sunyi. Kresna setengah putus asa. Akhirnya ia berkata kepada Werkudara, “Werkudara, bisakah kamu memberi usulan bagaimana kakakmu itu bisa maju menandingi senapati Astina paman Prabu Salya?”.
“Hlaaa, jangankan aku. Yang sebagai adiknya. Kamu sendiri yang selalu menjadi tempat untuk mengurai kekusutanpun, tak lagi diturut omongannya!” . Jawaban Werkudara tidak membuat Kresna puas.
“Arjuna, kamu tentunya bisa memberikan sumbang saran?”. Pertanyaan Kresna beralih ke Arjuna.
“Aduh kanda, hamba yang sebaga saudara muda, apalah daya yang hamba miliki kanda Kresna”.
“Dimas Nakula Sadewa, bagaimana?” Kresna menanya kepada kembar dengan jawaban yang sudah ia perkirakan.
Yang disebut namanya hanya saling pandang.
“Jadi bagaimana Werkudara?” Kembali pertanyaan ditujukan kepada Werkudara.
“Baiklah, kanda Puntadewa. Bila sudah tidak ada rasa memiliki adik adikmu ini. Sekarang aku dan saudaramu yang empat akan melakukan bakar diri”.
“Silakan dinda. Tetapi setahuku, orang yang hendak bunuh diri dengan mengatakan kepada orang lain, itu biasanya perbuatan yang tidak sungguh sungguh”.
Jawab Puntadewa. Kresna yang mendengar jawaban Puntadewa tersenyum kepada Werkudara penuh arti.
“Kresna, aku sudah tidak sanggup!” keluh Bima seenaknya.
Kesunyian kembali menggenang, keputus asaan Kresna membuat ia tak kuasa untuk memutar otak yang seakan kusut. Tapi tiba tiba Puntadewa berkata, “Kanda, bila hamba diminta menjadi senapati menandingi senapati dari Astina hamba sanggup, tetapi hamba harus tetap kalis dari dosa. Hamba sanggup melakukan itu bila jaminan itu ada, kanda”.
Terang pikiran Prabu Kresna seketika mendengar kalimat kalimat yang tak terduga meluncur dari bibir Prabu Punta. Maka dengan sepenuh hati ia meyakinkan keinginan yang tertuang dari hati Prabu Puntadewa. “Baiklah dinda, saya pastikan dinda akan tetap suci dan tidak terlumuri dosa, bila yang memerintah paduka adalah Sang Hyang Wisnu. Lihatlah dinda, kanda akan memperlihatkan diri dalam bentuk Wisnu, dan dengarkan apa yang pukulun Sang Hyang Wisnu hendak katakan”.
Perlahan Prabu Kresna memuja semedi, dikerahkan kekuatan untuk membuka pintu batinnya dan mampu memperlihatkan kesejatian dirinya dalam rupa Batara Wisnu. Telah tercapai maksudnya, berkata ia kepada Prabu Puntadewa, “Heh titah ulun Puntadewa, hendaknya kamu segera maju ke medan perang. Tandingi kekuatan Prabu Salya dengan sarana Pusaka Jamus Kalimasadda. Lepaskan pusakamu untuk menyirnakan jasad Prabu Salya”.
Tersenyum Kresna ketika ia telah berhasil membujuk Prabu Puntadewa. Canggung gerak Prabu Puntadewa ketika menaiki kereta dengan sepasang kuda perang putih dengan didampingi oleh Nakula dan Sadewa. Sedangkan Arjuna dan Werkudara pun tidak mengambil jarak yang cukup jauh dalam menjaga keselamatan kakak sulungnya.
Sementara di padang Kurusetra, amuk Prabu Salya seakan tak terbendung. Berbagai macam senjata telah mengenai sosok Prabu Salya, namun tak satu senjata yang mampu melukai kulit Sang Senapati.Tak diketahui orang yang sedang berada di peperangan, Sukma Sang Bagaspati melayang menunggu saat yang ditunggu tunggu. “ Salya menantuku, sekarang sudah saatnya bagiku untuk menjemput kamu. Narasaoma, aku tidak membenci kamu walaupun kamu telah membunuhku. Tapi kehendakku, belum akan kembali ke tepet suci bila tidak bersama dengan anak dan menantuku. Nah sekarang lah waktunya. Aku akan menyatu dalam tubuh Puntadewa. Salya tunggu kedatanganku”. Melayang sukma Bagaspati menyatu dalam diri Prabu Punta.
Ketika melihat kedatangan Puntadewa yang menaiki kereta itu, hatinya tercekat. Ia sudah merasa terdapat aura aneh yang terpancar pada diri lawannya.
0 comments:
Post a Comment